Jacob deGrom dan Anomali Terbesar Olahraga Amerika Era Modern

Sebuah tulisan singkat mengenai kisah ikonik pria jangkung bernomor punggung 48.

Farhan Muhammad Aditomo
6 min readMay 18, 2021
New York Mets’ Jacob deGrom delivers a pitch during the fourth inning of a baseball game against the Boston Red Sox Wednesday, April 28, 2021, in New York. (AP Photo/Frank Franklin II)

Semakin tua usia atlet, semakin turun pula kemampuan fisiknya.

Paradigma ini umumnya dipegang oleh banyak sekali penonton olahraga di seluruh dunia. Terkait bulu tangkis, saya sendiri percaya jikalau regresinya terjadi jauh lebih cepat, bahkan dari olahraga seperti tenis, tenis meja, dan biliar.

Terlepas dari fakta di atas, dalam olahraga tim regresi salah satu pemain secara umum cukup dapat dilihat secara gamblang. Baik Cristiano Ronaldo, Aaron Rodgers, LeBron James, Sidney Crosby, Virat Kohli, semuanya sudah mengalami regresi. Terlebih para ageless wonders seperti Jaromír Jágr, Bartolo Colón, dan dua ‘anomali’ atlet gaek, Tom Brady dan Kazuyoshi Miura.

Jágr,yang tahun depan akan menginjak usia kepala lima, masih saja bermain di atas ring hoki es di tanah airnya, Czechia. Sebelumnya, pria yang identik dengan nomor 68 — tahun revolusi Cekoslovakia — tersebut sudah melanglang buana ke beberapa negara, sebut saja Jerman, Italia, Rusia, selain merasakan asam garam di NHL, liga hoki es tertinggi sedunia.

Colón, di sisi lain, masih saja bermain di Meksiko, padahal usianya sudah menginjak empat puluh tujuh tahun. Pria asal Republik Dominika tersebut tampaknya masih tak mau menyerah dengan keinginannya bermain di Major League Baseball (MLB) di usia tua, bak pitcher legendaris Nolan Ryan.

Tentu anda akan bingung apabila melihat bagaimana bisa kedua dua “pria udik” ini masih bertahan di level tertinggi. Keduanya terlihat lebih seperti bapak-bapak pengurus Organisasi Masyarakat (ormas) lokal, berbeda dengan Brady (44 tahun) dan Kazu (54) yang penampilannya tak banyak berubah dari masa jaya mereka.

Bicara soal penampilan, sejatinya tak ada yang salah dengan Jacob deGrom. Eks rekan Colón di klub New York Metropolitans tersebut merupakan pria tinggi kurus — tingginya 193 sentimeter, dengan berat badan 82 kilogram.

New York Mets starting pitcher Jacob deGrom watches a throw to Colorado Rockies’ C.J. Cron during the fourth inning of the first baseball game game of a doubleheader Saturday, April 17, 2021, in Denver, CO. (AP Photo/David Zalubowski).

Pria bernama lengkap Jacob Anthony deGrom tersebut lahir pada 19 Juni 1988 di DeLand, Florida. Sejatinya, ia bukan merupakan pelempar, tetapi pemain penjaga antara base dua dan tiga (shortstop) yang baru jadi pelempar ketika tahun ketiganya di kampus Stetson University. Hal ini membuat ia diambil cukup bawah di MLB Draft tahun 2010, tepatnya di ronde kesembilan dan pick nomor 272.

Selama berkarier di liga minor, deGrom bukanlah sosok pemain yang spesial.Ia dilewati beberapa pemain yang tampil lebih hebat, di antaranya adalah top draft pick Matt Harvey.

Untung saja, karier deGrom sejatinya dimulai dengan mulus, di mana ia berhasil jadi Pemula Terbaik (Rookie of the Year) pada tahun 2014 silam. Selama kariernya, sudah dua gelar Cy Young (pitcher terbaik) yang ia raih, serta beberapa kali bermain di All-Star Game.

Wajar apabila deGrom dinobatkan menjadi salah satu sosok anomali yang bisa dibilang menggebrak dunia bisbol, kalau para pembaca mainstream tak sudi mengatakan ia menggebrak dunia olahraga. Padahal, kalau dipikir ulang, apa yang ia lakukan cukup mudah dicerna logika karena ia hanya mencoba untuk melempar lebih cepat.

Bayangkan saja, deGrom yang tadinya hanya melempar secepat 94 mil per jam ketika masih jadi rookie pada 2014 silam lambat laun mampu melempar 101 mil per jam secara konsisten di tiap laga yang ia mainkan di usianya yang menginjak 33 tahun. Tim Britton dari the Athletic lantas sah-sah saja mengatakan kalau pencapaian deGrom di New York Mets bak pelempar fiktif Siddharta Finch di dunia nyata dalam artikel ini — yang tentu saja berbayar.

Sekadar informasi, Sidd Finch adalah pemain fiktif ciptaan wartawan Sports Illustrated George Plimpton sebagai lawakan April Fools tahunan mereka medio 1983 silam. Finch diberitakan mampu melempar bola dengan kecepatan 270 kilometer per jam — ukuran yang sangat absurd untuk seorang manusia.

Sebuah grafik mengenai perkembangan lemparan Jacob deGrom selama kariernya.(Tim Britton/The Athletic)

Terlepas dari lawakan tersebut, New York Mets sendiri dikenal sebagai tim yang selalu sial.Bagaimana tidak, tim ini identik dengan sudah buang uang banyak tetapi masih saja ambyar.

Selain itu, stigma ‘tim kedua’ di kota New York City — di belakang Yankees, tentu saja — membuat Mets selalu jadi pesakitan. Setidaknya hingga 2015, musim kedua deGrom di MLB.

Jacob deGrom, the ‘deGrominator’. (c/r: Twitter)

Musim itu, deGrom — dan Colón — berhasil menjuarai National League bersama Mets. Hal tersebut cukup wajar mengingat susunan pitcher Mets musim itu, di mana mereka setidaknya punya lima starter jempolan yang kesemuanya punya lemparan yang sangat keras.

Kalau anda melihat Asian Games 2018, anda pasti melihat pemain Korea Selatan yang punya lemparan bak roket. Kendatipun begitu, semua orang yang menonton bisbol paham jikalau perbedaan level Korea Baseball Organization League — KBO League, liga tertinggi Korea Selatan — dengan MLB cukup jauh.

Begini; para pitcher Mets, yang terdiri Matt Harvey, deGrom, Noah Syndergaard dan Steven Matz keempatnya punya lemparan fastball di atas 95 mil per jam — atau sekitar 152 kilometer per jam. Bayangkan saja jika mereka berempat menantang seorang mas-mas biasa di sebuah batting cage. Saya jamin, ketika anda melihat hal itu, anda akan berlari ke toilet dan mengalami diare.

Dengan pemain berkualitas tinggi baik dalam segi defensif ataupun ofensif, Mets tentu saja bisa melaju dengan cukup mulus di playoff MLB musim 2015. Mereka berhasil mengalahkan Los Angeles Dodgers dan Chicago Cubs, dua tim terkuat National League sebelum sampai ke World Series, melawan Kansas City Royals.

Penampilan deGrom pada playoffs kala itu cukup dahsyat. Melawan Dodgers, ia mencetak 20 strikeout di dua penampilannya, lalu ia juga cukup solid melawan Cubs meski pada akhirnya ia dilumat habis di Kansas City.

Skuat Kansas City yang menjuarai juara American League sendiri tahun itu bisa dibilang merupakan antitesis bisbol era modern yang identik dengan Home Run dan strikeout. Mereka tidak banyak berkompromi seperti bisbol ala orang Afro-Amerika, mereka juga bermain dengan kengototan luar biasa ala bisbol Karibia, dan mereka melakukan keduanya tanpa sekalipun mengorbankan aspek fundamental bisbol ala Asia Timur.

Lagipula, dengan rekor 95 kali menang dan 67 kali kalah,Royals adalah tim terbaik di American League, salah satu konferensi MLB, dan mereka merupakan juara bertahan AL musim sebelumnya. Berbeda dengan Mets, yang dengan rekor 90 kali menang dan 72 kali kalah jadi tim National League dengan rekor paling ‘jelek’ di playoff MLB 2015.

Anti-klimaks deGrom di gim kedua World Series tahun itu cukup berkesan. Pasalnya, itulah penampilan terakhir pria asal Daytona Beach, Florida tersebut di playoff MLB hingga berita ini turun.

Gebrakan dalam karier deGrom sendiri lantas baru datang setelah ia mencukur pendek rambutnya dan mengubah pendekatan bermainnya pada 2017 silam. Sejak saat itu, deGrom lantas berkembang jadi monster dengan kualitas fastball setara Roger Clemens pada puncak kariernya, serta bola lambat bak Pedro Martinez yang — tentu saja — jauh lebih cepat.

Sebuah video mengenai evolusi sosok Jacob deGrom dari pemain ‘standar’ menjadi salah satu megabintang bisbol. (TheJollyOlive/YouTube)

Pendek kata, deGrom luar biasa. Simak cuplikan artikel dari MLB.com mengenai dominasi pemain bernomor punggung 48 ini:

His ERA is a mind-boggling 0.31 this season. He has knocked in more runs (two) than the one earned run he has allowed. He has struck out 50 batters in his first four starts. Since the start of the 2018 season, he has a 2.00 ERA in 80 starts.

Catatan ERA yang bagus, kalau mau subjektif, adalah 2.5 runs per pertandingan, sehingga nukilan statistik di atas menjadi catatan yang luar biasa bagi deGrom.Wajar apabila ia digadang-gadang jadi sebuah anomali pelempar di saat bisbol di dunia mulai mengubah orientasi mereka terhadap penggunaan pitcher.

Lantas, pada ahirnya timbul satu pertanyaan: Apakah deGrom akan menjadi legenda bisbol,dan dunia olahraga?

Sesungguhnya bisa saja deGrom menjadi sosok legenda sebagaimana Pedro Martinez ataupun Roger Clemens,asalkan kemampuan ofensif Mets tidak sering melempem. Belum lagi, di awal musim 2021 ini Mets sudah menggelontorkan uang dengan jumlah luar biasa demi Francisco Lindor, James McCann, serta beberapa pemain lainnya di bawah pemilik baru Steve Cohen.

Pada akhirnya, saga dari karier deGrom masih cukup panjang. Patut ditunggu rencana-rencana hebat lain dari deGrom, terlebih ia punya niat mau bermain di tingkat teratas hingga umur 40 tahun.

Farhan Muhammad Aditomo is a lifelong baseball fan who also happened to found love in other sports such as combat sports, motorsports, association football, and gridiron football. He aspires to make a living out of the texts about people within the sports. Worships Hideki Matsui, but not New York Yankees anymore. Currently read Security Studies as a Grad-student at Universitas Indonesia, albeit with lesser expertise.

You can follow him on Twitter as @fmaditomo or Instagram as @iniaditomo.

--

--