De Oost: Een Overzicht

Kenapa Film Sejarah yang ‘Woke’ mengundang Kontroversi

Farhan Muhammad Aditomo
5 min readJul 31, 2021
Photo by Hugo Matilla on Unsplash

De film heeft een oriëntalistische blik die kennelijk nog steeds sterk verankerd is in het brein van westerlingen..

Film ini memiliki pandangan orientalis yang ternyata masih mengakar kuat di benak orang barat.

Begitulah kata redaktur media sejarah populer Historia, Bonnie Triyana soal De Oost, film terbaru Belanda soal Perang Kemerdekaan Indonesia.Masa ini lebih dikenal di dunia luar sebagai masa Bersiap.

Bersiap apanya, toh salah Belanda sendiri yang sibuk memikirkan dampak Operation Market Garden dan abai dengan jajahannya!

Sebagai orang yang sempat belajar dan berkecimpung di dunia persejarahan ketika masih menjadi mahasiswa sarjana, pendapat Mas Bonnie di atas agaknya benar, terlebih setelah saya menonton film berdurasi 2 jam lebih sedikit tersebut. Bukan film sejarah apabila ada yang sengaja ‘diabaikan’ demi maslahat bersama.

Film yang dibintangi oleh Marwan Kenzari (The Angel, the Old Guard, Aladdin) dan Martijn Lakemeier (Oorlogswinter,Adios Amigos) ini punya plot yang cukup simpel. De Oost menggambarkan ganasnya pasukan tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indie Leger, mudahnya tentaranya orang Hindia Belanda) pimpinan Raymond Westerling yang ditugaskan untuk “menumpas pemberontak dan teroris” di Hindia Belanda yang sudah jadi Republik Indonesia.

Protagonis dalam film ini adalah Johan de Vries, relawan muda Belanda yang direkrut olelh KNIL untuk membantu terciptanya “Hindia Belanda yang Damai”. Tapi, pengalaman di medan perang akhirnya merontokkan keyakinannya pada kebijakan negara sendiri, yang sejatinya cukup dapat dipertanyakan.

Awalnya, de Vries tampak semangat bertempur di Indonesia. Terlebih, ia turun sebagai langkah “pembersihan dosa”, mengingat sang ayah, Johan de Vries senior, adalah anggota partai Nazi Belanda, NSB.

Dalam perjalanannya di Mooi Indië , de Vries menemukan banyak hal. Dari jatuh cinta dengan seorang pemudi Indonesia — yang sudah bersuami, seperti norma film barat ‘pada umumnya’ , lalu menemukan bapak-bapak lokal informan Landha, dan masih banyak lagi hal durjana lainnya.

Lantas, kenyataan di medan perang selalu berkata lain. Etika perang seyogyanya boleh dicanangkan, tapi buat apa berperang dengan etika bilamana sang lawan tak mengerti satu patah kata yang kita ucapkan?

Begitulah kenyataan yang lama kelamaan ditemukan oleh de Vries ketika berkenalan dengan Raymond Westerling. Lantas, dapat melihat gejolak emosi Johan saat menyaksikan pembantaian oleh Westerling, yang dalam film ini hanya disebut sebagai Raymond atau de Turk.

Depot Speciale Troepen (DST) alias Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling lantas menggebrak dunia akibat perlakuan tak elok mereka. Aksi extrajudicial killing yang mereka lakukan tentu saja masuk dalam konteks ‘state-sponsored terrorism’.

de Vries pada akhirnya dirisak oleh Westerling dan rekan-rekannya di APRA akibat mempertanyakan keputusan yang dilakukan selama bertempur di mandala Sulawesi Selatan. Padahal, yang dilakukan de Vries cukup wajar bagi seorang tentara, apalagi mengalami shellshock akibat kelewat sering mendengar desingan peluru di medan perang.

Film ini diakhiri dengan deVries yang mendatangi Westerling setelah menonton lakon drama. Dengan enteng, de Vries menyelinap ke belakang panggung, melakukan ‘reuni’ — yang tampak tidak seperti reuni, lalu menembak Westerling di perut sebelum bunuh diri.

Kontroversial? Spektakuler.

Skor film ini 78 dari 100; skor yang cukup untuk film dengan genre perang.Tetapi, rasa-rasanya masih ada tiga sampai empat aspek yang kureng di film tersebut.

Pertama, peduli amat dengan Piala Citra. Reza Rahadian tampaknyatak akan dipilih, toh sosok Lukman Sardi jadi pemeran pembantu rasa-rasanya agak Mickey Mouse, mengingat kemampuannya sebagai aktor watak sejatinya sangat membantu di film dengan genre kontroversial seperti ini.

Kedua, film ini terkesan bermain ‘aman’, tidak seperti film Riphagen — soal Andries Riphagen, seorang simpatisan Nazi dari Belanda. Pemilihan Marwan Kenzari — sosok pelawak keturunan Tunisia — sebagai Westerling tampaknya kurang ‘pas’ mengingat Westerling sendiri dalam catatan sejarah kurang lancar berbahasa Belanda dan lebih mirip orang Yunani.

Ketiga, penekanan sosok Johan de Vries sebagai double outcast. Posisinya sebagai anak dari simpatisan Nazi dan desertir agaknya kurang mengigit di seperempat bagian film terakhir. Kendatipun begitu, de Vries berhasil membalaskan dendam korban APRA dengan menembak Westerling di perut setelah opera. Mudah, bukan?

Alasan keempat, sayangnya, tak semudah itu.Terakhir, aksi cuci tangan Belanda yang agak ‘tanggung’. Pasalnya, banyak sekali aksi APRA yang tak terekspos di Sulawesi Selatan, dan rata-rata dianggap tabu baik oleh Belanda atau pun Indonesia.

Menurut peneliti postkolonial veteran Ariel Heryanto, lebih dari 100 tahun lalu Ernest Renan berpendapat kekejaman luar biasa di masa lalu menjadi faktor terpenting dalam terbentuknya bangsa-bangsa di dunia. Semua bangsa mewarisi aib demikian. Kebanyakan menguburnya hidup-hidup sebagai tabu.

Jerman menjadi salah satu negeri paling sukses membongkar sejarah aib nasional — mengingat aib nasional mereka di kala Perang Dingin, seperti contohnya aksi dari polisi rahasia Republik Demokratik Jerman, Stasi sejatinya tak jua dibongkar.

Segelintir negara lain,termasuk Afrika Selatan — tentu setelah ditekan oleh partai penguasa African National Congress, Australia — setelah dosa White Australia Policy terungkit oleh para orang Aborigin,dan Amerika Serikat — yang selain tak membuka aib mereka di era pasca Perang Saudara, lantas tak sudi membuka aib mereka di Filipina, Haiti dan tentu saja Republik Dominika — menyatakan permintaan maaf secara resmi atas kekejaman negara di masa lampau.

Tentu tidak mencurigakan, bukan?

Permintaan maaf Raja Belanda — yang tentu saja memiliki mertua seorang kroni diktator di Argentina — ketika berkunjung ke Indonesia 2020 silam atas kekejaman kolonial merupakan bagian dari proses panjang yang memanas di Belanda. Meski, tentu saja para keturunan pasukan baju hitam Westerling takkan meminta maaf soal hal ini.

Oke, baik Belanda, Afrika Selatan, Australia dan Argentina sama-sama jadi pendukung Amerika Serikat di era Perang Dingin, dan kesemuanya sudah ‘cuci muka’ dan ‘mandi wajib’ serta ‘dibaptis’ sebagai aksi penebusan dosa mereka di abad ke-21 ini. Jepang pun sama — meski tentu saja Kuil Yasukuni takkan pernah dimaafkan sampai kiamat.

Contoh negara pro-AS yang ‘bandel’ tentu saja Korea Selatan. Saya jamin, Korea Selatan takkan berani membuat film mengenai Perang Vietnam dengan sudut pandang serupa — tokoh simpatisan oposisi, bersama pasukan elit, di negeri asing — tanpa menemui aksi cancel dari para warganya.

Patut diingat, situasi Hell Joseon bisa dirunut dari keinginan Park Chung-hee untuk turun di mandala Vietnam sembari tidak mengindahkan Konvensi Jenewa dan etika perang tradisionil yang berlaku. Salah satu contohnya — terdapat di YouTube — adalah tayangan dari BBC soal perang divisi Naga Biru membantu Amerika dalam membendung Komunisme di Indochina medio 1960-an silam.

Patut diingat, Sejarah adalah Pemenang, seperti kata Winston Churchill. Namun, penelitian sejarah dan historiografi — baik dari Collingwood, Croce, EH Carr dan sebagainya — tak berkata demikian.

--

--